Merancang Masa Depan Lewat Masa Lalu: “Deep Learning sebagai Transformasi Pembelajaran Sejarah”
Nama Penulis : Zaki Zaenal Arifin
Praktisi Pendidikan : SMAN 2 Pandeglang
Pelajaran sejarah, dalam praktiknya di ruang-ruang kelas, masih kerap dipersepsikan sebagai mata pelajaran yang menuntut siswa untuk menghafal deretan informasi. Tanggal-tanggal penting, nama-nama tokoh bersejarah, serta urutan kronologis peristiwa menjadi fokus utama yang harus diingat. Sayangnya, pendekatan seperti ini cenderung menempatkan siswa sebagai penerima pasif, bukan sebagai subjek aktif yang mampu berpikir kritis terhadap apa yang dipelajarinya. Akibatnya, sejarah terasa kaku, membosankan, dan tidak memiliki kaitan langsung dengan realitas kehidupan siswa sehari-hari.
Padahal, sejatinya sejarah bukan sekadar kumpulan fakta masa lalu. Sejarah adalah ilmu yang erat hubungannya dengan pembentukan identitas dan jati diri individu maupun bangsa. Melalui sejarah, kita belajar memahami siapa diri kita, dari mana asal kita, dan nilai-nilai apa yang diwariskan kepada kita. Lebih dari itu, sejarah adalah cermin reflektif untuk memahami dinamika sosial, politik, dan budaya yang membentuk masyarakat saat ini.
Sejarawan asal Inggris, Edward Hallett Carr, dalam karya klasiknya What is History? menyatakan bahwa “History is an unending dialogue between the present and the past” (Carr, 1961). Artinya, sejarah bukan sekadar pencatatan masa lalu, melainkan sebuah proses interaktif yang berperan membentuk kesadaran masa kini. Tanpa adanya refleksi dan analisis, pembelajaran sejarah gagal membangun kesadaran historis yang kritis.
Di Indonesia, sejarawan besar Sartono Kartodirdjo juga memberikan pandangan yang sejalan. Ia menyatakan bahwa sejarah tidak boleh berhenti pada fakta, tetapi harus menjadi alat untuk memahami struktur sosial dan dinamika perubahan. Dalam bukunya, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Sartono menekankan bahwa: “Pengajaran sejarah harus mampu menyadarkan murid bahwa masa lalu memengaruhi masa kini dan masa depan, serta bahwa sejarah adalah proses sosial yang dinamis” (Kartodirdjo, 1992). Ia juga menekankan pentingnya pendekatan interdisipliner yang menggabungkan sejarah dengan ilmu sosial agar pembelajaran menjadi kontekstual dan bermakna.
Senada dengan itu, sejarawan Taufik Abdullah menyatakan bahwa sejarah seharusnya berfungsi bukan hanya untuk menjelaskan masa lalu, tetapi juga untuk “memahami cara berpikir, nilai-nilai, dan tantangan yang dihadapi masyarakat di berbagai masa.” (Abdullah, 2012). Dengan kata lain, sejarah memiliki dimensi edukatif yang kuat dalam membentuk kesadaran budaya dan kebangsaan.
Dengan berbagai pandangan tersebut, menjadi jelas bahwa pendekatan hafalan dalam pembelajaran sejarah harus digantikan dengan pendekatan yang membangun pemahaman mendalam, berpikir kritis, serta kemampuan mengaitkan masa lalu dengan masa kini. Pembelajaran sejarah seharusnya memfasilitasi siswa untuk berdialog dengan masa lalu, bukan hanya mengingatnya. Guru perlu menciptakan pembelajaran yang eksploratif, reflektif, dan kontekstual agar sejarah tidak hanya dihafal, tetapi dimaknai soko guru kehidupan sebagai penuntun lentera kehidupan.
- Deep Learning Sebagai Pendekatan Alternatif Pembelajaran Sejarah
Dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran sejarah yang selama ini cenderung bersifat pasif dan berorientasi pada hafalan, pendekatan deep learning hadir sebagai alternatif yang sangat relevan dan dibutuhkan. Penting untuk dicatat bahwa deep learning yang dimaksud di sini bukanlah teknologi kecerdasan buatan sebagaimana yang umum dikenal dalam dunia digital dan sains komputer, melainkan sebuah pendekatan pedagogis yang berfokus pada pembelajaran yang bersifat mendalam, bermakna, reflektif, dan kontekstual.
Pendekatan ini menekankan pentingnya pemahaman yang utuh, bukan sekadar penguasaan fakta. Dalam konteks pelajaran sejarah, deep learning mendorong siswa untuk melampaui permukaan informasi. Mereka tidak hanya mengetahui peristiwa-peristiwa apa yang terjadi di masa lalu, tetapi juga diajak untuk menggali alasan di balik peristiwa tersebut (why it happened), dampaknya bagi masyarakat kala itu, serta relevansinya bagi kondisi sosial-politik saat ini.
Konsep ini diperkuat oleh pandangan Marton dan Säljö, dua pakar pendidikan asal Swedia, yang memperkenalkan istilah deep learning pada tahun 1976. Dalam penelitian awal mereka tentang proses belajar mahasiswa, mereka membedakan antara surface learning (pembelajaran permukaan) dan deep learning (pembelajaran mendalam). Mereka menjelaskan bahwa “Students who adopt a deep learning approach aim to understand ideas for themselves. They interact critically with the content, relate ideas to previous knowledge and experience, and examine the logic of arguments.“(Marton & Säljö, 1976).
Artinya, siswa yang menerapkan pendekatan pembelajaran mendalam tidak hanya menghafal materi, tetapi aktif terlibat dalam proses pemaknaan, analisis, dan refleksi. Dalam pelajaran sejarah, ini berarti siswa tidak cukup hanya tahu kapan peristiwa ‘Pemberontakan Petani Banten 1888’ terjadi, tetapi juga mengapa peristiwa pemberontakan itu meletus, bagaimana dinamika sosial-politik pada saat itu, dan apa relevansi pemberontakan tersebut terhadap konteks perjuangan sekarang ini.
Pandangan ini kemudian diperluas oleh Biggs dan Tang (2007) yang menekankan pentingnya constructive alignment dalam sistem pembelajaran. Mereka menyatakan bahwa “Deep learning occurs when students are required to engage with meaning, integrate ideas, and apply knowledge in new contexts.” (Biggs & Tang, 2007, hlm. 74).
Dalam pengajaran sejarah, prinsip ini sangat penting. Guru perlu merancang pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menganalisis dokumen sejarah, berdiskusi tentang isu-isu historis yang relevan, atau bahkan merefleksikan bagaimana nilai-nilai masa lalu dapat diterapkan untuk menghadapi tantangan masa kini.
Selanjutnya, Robert E. Slavin, dalam kerangka active learning, menekankan bahwa keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran merupakan kunci keberhasilan belajar jangka panjang. Ia menjelaskan “Students learn best when they are actively engaged in constructing their own understanding, rather than passively receiving information.“
(Slavin, 2009, hlm. 16).
Melalui pendekatan deep learning ini, siswa tidak lagi menjadi objek yang hanya menerima informasi dari guru, melainkan menjadi subjek aktif dalam proses belajar. Mereka terlibat dalam analisis, diskusi, refleksi, dan pencarian makna. Misalnya, ketika mempelajari peristiwa Sumpah Pemuda, siswa tidak hanya diminta menghafal tanggal dan tokohnya, tetapi juga diajak untuk mendiskusikan semangat persatuan dalam konteks keberagaman saat ini. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih hidup dan bermakna, karena terkait langsung dengan kehidupan dan realitas yang mereka alami.
Selain itu, deep learning membantu siswa membentuk keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills), seperti berpikir kritis, bernalar logis, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan berdasarkan pemahaman yang mendalam. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran abad ke-21 dan Profil Pelajar Pancasila, di mana peserta didik diharapkan menjadi individu yang bernalar kritis, mandiri, dan mampu hidup dalam masyarakat yang kompleks dan plural.
Dengan menempatkan deep learning sebagai landasan dalam pembelajaran sejarah, kita sedang membangun ruang kelas yang tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran historis, kepekaan sosial, dan kemampuan reflektif yang akan sangat berharga dalam kehidupan siswa, baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia yang berpikir.
- Konsep Pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam Konteks Pembelajaran Sejarah Berbasis Deep Learning
Konsep deep learning dalam pembelajaran sejarah sejatinya sangat sejalan dengan falsafah pendidikan yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Ki Hajar menekankan bahwa pendidikan sejati bukan sekadar proses penyampaian pengetahuan dari guru ke murid, melainkan upaya untuk “memerdekakan pikiran, perasaan, dan kehendak peserta didik” (Ki Hajar Dewantara, dalam Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Hidupnya, 2004). Pendidikan yang merdeka inilah yang membuka ruang bagi siswa untuk berpikir mandiri, menggali makna, dan bertanggung jawab atas proses belajarnya sendiri.
Salah satu kutipan paling terkenal dari Ki Hajar menyatakan:
“Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.” (Ki Hajar Dewantara, 1930-an).
Makna kutipan ini sangat relevan dalam konteks pembelajaran sejarah yang bersifat mendalam. Guru bukanlah pusat kebenaran yang menyampaikan kronologi atau fakta-fakta sejarah secara satu arah, melainkan penuntun yang menciptakan ruang agar siswa dapat mengembangkan pemahaman kritis terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu, mengaitkannya dengan realitas masa kini, dan mengambil nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan mereka.
Dalam praktiknya, pembelajaran sejarah yang berpijak pada nilai-nilai Ki Hajar akan mendorong suasana belajar yang penuh diskusi, refleksi, dan eksplorasi. Siswa diajak untuk bertanya “mengapa” suatu peristiwa terjadi, bukan hanya “apa” yang terjadi. Mereka juga diberi kesempatan untuk menafsirkan sejarah dari berbagai perspektif, termasuk dari sudut pandang lokal, kebudayaan, maupun kemanusiaan universal.
Dengan kata lain, pendekatan ini tidak hanya mengembangkan aspek kognitif siswa, tetapi juga menumbuhkan karakter merdeka belajar sebagaimana dicita-citakan oleh Ki Hajar: yaitu peserta didik yang mampu berpikir kritis, memiliki empati, serta memiliki kesadaran sejarah sebagai bagian dari identitas dan tanggung jawab sebagai warga bangsa.
Senada dengan pandangan Ki Hajar Dewantara, John Dewey seorang filsuf dan tokoh pendidikan progresif dari Amerika Serikat juga menekankan pentingnya pengalaman langsung dan keterlibatan aktif sebagai inti dari proses belajar. Dewey percaya bahwa pendidikan bukanlah sekadar persiapan menghadapi kehidupan, melainkan bagian tak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri. Dalam salah satu pernyataannya yang terkenal, Dewey menyatakan:
“Education is not preparation for life; education is life itself.” (Dewey, 1916, Democracy and Education)
Pernyataan ini menegaskan bahwa proses pendidikan harus menyatu dengan dinamika kehidupan siswa. Dalam konteks pembelajaran sejarah, artinya adalah menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu bukan hanya sebagai materi pelajaran, tetapi sebagai media refleksi dan pemaknaan terhadap kehidupan masa kini. Guru bukan sekadar menyampaikan kronologi atau tokoh, tetapi mengajak siswa berdialog dengan sejarah, menemukan relevansi dan pelajaran moral dari peristiwa yang telah terjadi.
Dewey juga menekankan bahwa pendidikan harus bersifat demokratis, berbasis pada partisipasi aktif siswa, dan tidak memisahkan antara teori dengan praktik. Dalam bukunya Experience and Education (1938), ia menulis:
“The most important attitude that can be formed is that of desire to go on learning.”
(Dewey, 1938)
Maka dalam pembelajaran sejarah berbasis deep learning, guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong keingintahuan siswa, membuka ruang eksplorasi, dan menghubungkan materi sejarah dengan isu-isu sosial, budaya, maupun politik yang mereka temui sehari-hari. Hal ini menjadikan pembelajaran tidak bersifat pasif atau menghafal, melainkan aktif, kontekstual, dan bermakna sesuai dengan esensi pendidikan ala John Dewey dan juga sejalan dengan semangat merdeka belajar.
- Mewujudkan Deep Learning dalam Pembelajaran Sejarah: Dari Hafalan Menuju Kesadaran Historis
Pendekatan deep learning dalam pembelajaran sejarah bukanlah sekadar metode baru, melainkan sebuah transformasi cara pandang dalam mengajarkan sejarah. Dalam pendekatan ini, siswa tidak hanya dituntut untuk menghafal informasi, tetapi diajak untuk memahami makna di balik peristiwa, mengaitkannya dengan konteks kehidupan masa kini, dan merefleksikan dampaknya terhadap masa depan. Pembelajaran menjadi sebuah proses aktif yang menyentuh ranah kognitif, afektif, dan konatif siswa.
- Strategi Deep Learning: Dari Lokal hingga Global
Penerapan deep learning dalam pembelajaran sejarah dapat diwujudkan melalui berbagai strategi konkret dan kontekstual.
Pertama, melalui studi kasus sejarah lokal, siswa diajak menelusuri jejak sejarah di sekitar mereka. Misalnya, dengan melakukan wawancara terhadap pelaku sejarah, mengunjungi situs peninggalan budaya, atau mengkaji arsip lokal. Strategi ini menumbuhkan kesadaran bahwa sejarah bukan milik masa lalu yang jauh, melainkan hadir dalam ruang hidup mereka sendiri.
Kedua, diskusi isu kontemporer berbasis sejarah dapat menjadi sarana untuk membumikan pembelajaran. Ketika siswa diajak membahas persoalan seperti pluralisme, konflik sosial, atau ketimpangan ekonomi dengan perspektif historis, mereka akan belajar bahwa sejarah bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis dan relevan. Hal ini selaras dengan pandangan Sartono Kartodirdjo, sejarawan Indonesia, yang menyatakan bahwa:
“Sejarah tidak hanya bicara tentang masa lampau, tetapi juga memberikan pemahaman untuk memecahkan persoalan kekinian.” (Kartodirdjo, 1992)
“Artinya sejarah bukan hanya cerita tentang apa yang terjadi di masa lalu, tapi juga berfungsi sebagai alat untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang kita hadapi saat ini. Dengan belajar sejarah secara mendalam, siswa bisa melihat pola dan sebab akibat yang membantu mereka menilai situasi masa kini secara lebih bijak.”
Ketiga, analisis dokumen primer—seperti surat kabar zaman kolonial, pidato kemerdekaan, atau arsip perjuangan—mendorong siswa untuk berpikir layaknya sejarawan. Aktivitas ini membentuk kemampuan berpikir kritis dan interpretatif yang mendalam, sekaligus mengembangkan historical empathy dan historical consciousness. Taufik Abdullah, sejarawan dan pemikir sejarah sosial Indonesia, menyatakan bahwa:
“Sejarah yang hidup adalah sejarah yang memanusiakan, yang mampu menjangkau pengalaman manusia secara luas, bukan hanya narasi elit atau penguasa.”
(Abdullah, 2004).
“Artinya pembelajaran sejarah yang bermakna harus mencakup suara-suara dari berbagai kelompok masyarakat, bukan hanya tokoh besar atau penguasa. Sejarah harus menyentuh sisi kemanusiaan—menumbuhkan empati, mengerti penderitaan rakyat, dan memahami perjuangan orang-orang biasa. Ini akan membuat sejarah terasa lebih relevan dan dekat dengan kehidupan siswa.”
- Tantangan dan Harapan
Tentu, menerapkan pendekatan ini tidak tanpa hambatan. Guru dituntut untuk merancang pembelajaran yang kreatif dan fleksibel, membutuhkan sumber belajar yang memadai, serta dukungan kurikulum yang memberi ruang untuk refleksi dan eksplorasi. Namun, dengan niat kuat untuk memperkuat jati diri bangsa melalui pendidikan sejarah, tantangan ini justru harus menjadi pendorong inovasi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Biggs & Tang (2007), pendekatan pembelajaran mendalam menekankan pentingnya keterlibatan aktif siswa dengan materi ajar dan konteksnya:
“In deep learning, students focus on the underlying meaning of what is being learned, and relate new knowledge to previous knowledge and real-life experiences.”
(Biggs & Tang, 2007, Teaching for Quality Learning at University)
“Artinya dalam pendekatan pembelajaran yang mendalam (deep learning), siswa tidak sekadar menghafal, tetapi mencoba memahami makna yang lebih dalam dari materi yang dipelajari. Mereka menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan dengan pengalaman nyata dalam hidup mereka.”
Senada dengan itu, Robert E. Slavin, pendukung pembelajaran aktif dan kolaboratif, menekankan bahwa:
“Students learn more when they are actively engaged in the learning process through discussion, investigation, and application.” (Slavin, 2006)
“Artinya siswa akan belajar lebih baik jika mereka terlibat secara aktif—berdiskusi, meneliti, dan menerapkan pengetahuan. Proses pembelajaran seharusnya interaktif, tidak hanya mendengar penjelasan guru, tetapi juga membangun pemahaman sendiri lewat aktivitas nyata.”
- Kesimpulan dan Penutup: Sejarah sebagai Cermin dan Kompas
Jika kita ingin membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijak dalam memandang masa lalu dan masa kini, maka pendekatan deep learning dalam sejarah adalah sebuah keharusan. Mengubah pembelajaran sejarah dari sekadar hafalan menjadi pengalaman yang bermakna bukan hanya tugas guru sejarah semata, tetapi panggilan seluruh ekosistem pendidikan. Seperti dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara,
“Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri.” (Dewantara, 1935)
“Artinya setiap anak memiliki cara dan irama tumbuh yang berbeda. Tugas pendidik bukan memaksakan, tapi membimbing dengan kasih sayang agar anak dapat berkembang secara alami, sesuai bakat dan potensi mereka. Dalam konteks sejarah, ini berarti memberi ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi sejarah dengan cara yang bermakna bagi mereka.”
Maka, tugas pendidik adalah menuntun mereka dengan kasih dan kebijaksanaan agar sejarah tidak hanya dikenang, tetapi dipahami, dimaknai, dan dijadikan pelajaran untuk kehidupan.
Referensi
Abdullah, T. (2012). Sejarah dan Masa Depan Bangsa: Perspektif Indonesia. Jakarta: Kompas.
Abdullah, T. (2004). Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Carr, E. H. (1961). What is History? London: Macmillan.
Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Biggs, J., & Tang, C. (2007). Teaching for Quality Learning at University (3rd ed.). New York: Open University Press.
Marton, F., & Säljö, R. (1976). On Qualitative Differences in Learning: I—Outcome and Process. British Journal of Educational Psychology, 46(1), 4–11.
Slavin, R. E. (2009). Educational Psychology: Theory and Practice (9th ed.). Boston: Pearson.
Dewantara, K.H. (2004). Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Hidup Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara, K.H. (1935). Pendidikan: Pemikiran, Konsepsi, dan Sikap Merdeka. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Buku Saku Merdeka Belajar: Pikiran dan Gagasan Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Kemendikbud.
Dewey, J. (1916). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education. New York: Macmillan.
Dewey, J. (1938). Experience and Education. New York: Kappa Delta Pi.